Menganalisis Sikap Penyair dalam Puisi Terjemahan yang Dilisankan

Menganalisis Sikap Penyair dalam Puisi Terjemahan yang Dilisankan - Kalau ada kegilaan adalah kegilaan kreatif. Dengan kreativitas, kegilaan penciptaan dimungkinkan. Dengan kegilaan pula dapat dikecap capaian-capaian artistik sebuah sajak. Penyair terkadang seperti orang “gila” (gila dalam tanda kutip). Artinya, di tengah-tengah masyarakatnya penyair acap tampil anormaly, menyendiri, mengasingkan diri dari interaksi massif, dan secara personal menampilkan sosok yang sering “nyleneh”, aneh, dan sulit dipahami.
Menganalisis Sikap Penyair dalam Puisi Terjemahan yang Dilisankan
Menganalisis Sikap Penyair dalam Puisi Terjemahan yang Dilisankan

Sikap Penyair dalam Penuangan Puisi

Hal seperti itu dapat ditemukan pada puisi-puisi penyair dari Banjarbaru: Arsyad Indradi yang menyedot perhatian untuk digumuli.

Kegilaan Arsyad Indradi dalam mengeksploitasi dan mengeksplorasi segenap inderanya dalam menciptakan puisi masih dapat dinikmati. Niscaya merupakan sebuah kegilaan manakala dalam satu tahun diterbitkan buku kumpulan puisi: Nyanyian Seribu Burung (April 2006), Narasi Musafir Gila (Mei 2006), Romansa Setangkai Bunga (Juni 2006), dan Kalalatu (September 2006) yang semuanya diterbitkan secara swadana oleh Kelompok Studi Sastra Banjarbaru yang dipimpinnya. Gila! Mungkin begitu komentar orang. Kali ini perhatian secara khusus mengarah pada Narasi Musafir Gila yang memuat 90 puisi yang ditulis tahun 2000-an.

Dari mana pembicaraan ini dimulai? Pembicaraan puisi bisa dimulai dari mana saja. Antologi ini dibuka dengan “ Narasi Ayat Batu”. Sebagai pembaca kita lantas ingat adanya prasasti, tugu, daun lontar dan sebagainya yang menyimpan kearifan. Kubelah ayat ayat batumu di kulminasi bukit / Yang terhampar di sajadahku / Kujatuhkan di tebing tebing lautmu / Cuma gemuruh ombak dalam takbirku// ...Kuseru namamu tak hentihenti / Di ruas ruas jari tanganku/ Yang gemetar dan berdarah/ Tumpahlah semesta langit / Di mata anak Adam yang sujud di kakimu (Banjarbaru, 2000). Puisi ini secara intens mengungkapkan pergulatan penyair dalam menghayati “misteri” Illahi.

Arsyad Indradi yang memasuki usia 54 tahun pada Desember 2008 ini seterusnya menulis “Narasi Pohon Senja” seperti ini : Kukalungkan lampu lampu di ranjangmu / Lalu kujadikan pengantin / Lalu kunikahi daunmu kepompong birahi dendam/ Lahirlah kupu kupu / Betapa nikmat dalam dahaga / Menjelajahi tubuhmu / Mencari rangkaian bunga / jauh dalam lubuk jantungmu (Hal.2).

Sajak ini lebih mengedepankan kontemplasi dengan Ilahi ditampilkan melalui penginsanan-hubungan manusiawi dengan idiom simbol hubungan pengantin di ranjang. Dalam “Narasi Gairah Embun” secara manis penyair menulis seperti ini “Mulutmu wangi sari gading / Menyentuh gorden gorden jendela / Tapi jangan kau buka / Sebentar lagi pagi beranjak tiba” (hal.3). Secara analogis, metaforis, dan liris dalam “Narasi Tanah Kelahiran” dinyatakan “Kau beri aku sampan / Riak riak menyusuri urat urat nadi / Wajahmu sudah lain tapi begitu angkuh / Tumbuh rumah rumah batu” (hal.4). Pergulatan dan pergumulan penyair sampai pada kenyataan bahwa “Aku / Anak Adam / Yang tersesat di sajadahMu” (“Zikir Senja”, hal.8).

Memasuki usia senja, penyair semakin intens mengolah rahasia pertemuan dengan Sang Khalik. Intensitas itu membuahkan puisi-puisi religius yang lembut dan kongkret. Lebih kongkret lagi ketika penyair lantas mengkaji bumi yang dipijak. Bumi yang memberikan kesadaran bahwa persoalan manusia tidaklah semata berkomunikasi dengan Sang Khalik, melainkan juga perlu membaca denyut kehidupan di bumi. Puisi-puisi yang mewakili tema kehidupan di bumi yang ia pijak, antara lain: “Ekstase Seorang Pejalan Jauh”,”Etam Sayang Gunung”, “Romansa Bulan Saga”, “Romansa Seekor Hong”, “Romansa Setangkai Bunga”, “Romansa Di Bawah Hujan Cinta Pun Abadi“, “Pertemuan”, “Jalan Begitu Lengang”.

Hal yang unik dan menarik, penyair Arsyad Indradi mencoba menawarkan cara ungkap multikultur dengan memanfaatkan campur code bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam beberapa puisinya seperti : “As One of the Song, Mamimeca”, “Elly : Sonata is Silent”, dan “In My Last Mirrage”. Kita cermati bagaimana penyair memakai campur kode bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam puisinya.

Dalam “As One of the Song, Mamimeca” ditulis begini “ ... Aku tahu betapa letih wajahmu / Dalam gugusan maha kelam / May soul stay in the wind, Mami” (hal 27). “Aku musafir / Lirik-lirik yang jatuh dari matamu / Jatuh gemersik : Give to me one the world/ Di kulminasi bukit / Kupetik kembang ilalang :/ May sure not at all raincloud / Elly di tebing-tebing :/ I have lost my wind: (Elly : Sonata is Silent, hal 29). Pemanfaatan campur kode dalam puisi ibarat membuat gado-gado, bahan-bahan yang berlainan dipadu jadi satu, dan ternyata enak juga.

Sekian pembahasan Menganalisis Sikap Penyair dalam Puisi Terjemahan yang Dilisankan semoga bermanfaat.