Menulis Teks Naratif Berbentuk Puisi untuk Kebutuhan Majalah Dinding

Menulis Teks Naratif Berbentuk Puisi untuk Kebutuhan Majalah Dinding - Aktivitas menulis bentuk-bentuk sastra hendaknya tidak hanya dilakukan pada hari-hari dan jam-jam tertentu dikaitkan dengan pelajaran kesusastraan, tetapi juga dapat dilaksanakan untuk kebutuhan sehari-hari, misalnya pengisian majalah dinding, majalah sekolah, buletin OSIS, dan lain-lain.

Menulis Teks Naratif Berbentuk Puisi untuk Kebutuhan Majalah Dinding

Bentuk-bentuk karangan tertentu seperti puisi balada, prosa fiksi berupa cerpen, sketsa, di samping artikel, opini, juga dapat dijadikan sebagai media ekspresi untuk menerjemahkan petualangan hidup, yang berupa kisah-kisah dramatik atau tragedi.

Kali ini Anda diharapkan mampu untuk menulis teks naratif yang berbentuk puisi. Puisi jenis ini dikenal dengan balada. Untuk memberikan gambaran kepada Anda tentang bentuk-bentuk balada, berikut ini diberikan beberapa contohnya.

Menulis Teks Naratif Berbentuk Puisi untuk Kebutuhan Majalah Dinding
Menulis Teks Naratif Berbentuk Puisi untuk Kebutuhan Majalah Dinding
Balada a:
Rumah Pak Karto
Oleh: WS. Rendra

Menyusuri tanggul kali ini
Aku ‘kan sampai ke rumahnya
Sawah di kanan kiri
Dan titian-titian dari bambu
Melintasi kali
Menjalani tanggul berumput ini
Akan ‘kan sampai ke rumahnya
Yang besar dan lebar
Dengan berpuluh unggas di halaman
Pohon-pohon buahan
Lambang-lambang kesuburan
Dan balai-balai yang tenteram

Lalu sebagai duhu
Akan kujumpai ia mencangkul di kebunnya
Dengan celana hitam dan dada terbuka
Orang yang tahu akan hidupnya
Orang yang pasti akan nasibnya
Ia akan mengelu-elu kedatanganku
dan bertanya
“Apa kabar dari kota?”

Dadanya bagai daun talas yang lebar
dengan keringat berpercikan
Ia selalu pasti, sabar, dan sederhana
Tangannya yang kuat mengolah nasibnya

Menyusuri kali irigasi
Aku ‘kan sampai ke tempat yang dulu
Aku ‘kan sampai kepada kenangan
Ubi goreng dan jagung bakar
Kopi yang panas di toko tembikar
Rokok cengkeh daun ripah
Dan gula jawa di atas cawan

Kemudian akan datang malam
Bulan bundar di atas kandang
Angin yang lembut
Bangkit dari sawah tanpa tepi
Cengkerik bernyanyi dari belukar
Dan di halaman yang lebar
Kami menggelar tikar

Menyusuri jalan setapak ini
Jalan setapak di pinggir kali
Jalan setapak yang telah kukenal
Aku ‘kan sampai ke tempat yang dulu
Udara yang jernih dan sabar
Perasaan yang pasti dan merdeka
Serta pengertian yang sederhana
Sumber: Materi Lomba Baca Puisi Eks-Karesidenan Surakarta, 2002

Balada b:
Anak
Oleh: Ebiet G. Ade

Aku temukan
Anak kecil kurus terkapar
Menutup wajah
Dengan telapak tangannya
Aku gamit
Ia terperanjat
Melompat terbangun dan
Menatapku dengan nanar
lantas berlari
Bersembunyi
Di balik bayang-bayang pekat

Aku panggil ia
Dengan suara lembut
Dijulurkan kepala
Menatap curiga
Dari sudut matanya mengalir
Tetes air bening
Bercampur dengan keringat
Dari tingkahnya yang gelisah
Dari bibirnya yang bergetar
Ada yang ingin dikatakan

Aku rengkuh dalam pelukanku
kutanya
Apa gerangan yang terjadi
Sambil terisak
Di ceritakan sejujurnya
Terpaksa ia mencuri
Karena lapar yang ditanggung
Tak tertahankan lagi
Namun dari nama yang disandangnya
memang terasa
ada yang hilang

Rumah ini
Tak ubahnya seperti neraka
Ayah ibunya sibuk sendiri
Dan cerai berai
Akhirnya
Iapun memilih pergi
Barangkali di luar sana

Dapat dijumpai
Kasih sayang yang diimpikan
Perhatian yang dibutuhkan
Nah, sekarang coba
Siapa yang salah
Sumber: Sampul kaset 20 Lagu Terpopuler Ebiet G. Ade, Vol. 2 Side B

Balada c:
Suti
Oleh : Wiji Thukul

Suti tidak pergi kerja
pucat ia duduk dekat ambennya
Suti di rumah saja
tidak ke pabrik tidak ke mana-mana
Suti tidak ke rumah sakit
batuknya memburu
dahaknya berdarah
tak ada biaya

Suti kusut-masai
dibenaknya menggelegar suara mesin
kuyu matanya membayangkan
buruh-buruh yang berangkat pagi
pulang petang
hidup pas-pasan
gaji kurang
dicekik kebutuhan

Suti meraba wajahnya sendiri
tubuhnya makin susut saja
makin kurus menonjol tulang pipinya
loyo tenaganya
bertahun-tahun dihisap kerja
Suti batuk-batuk lagi
ia ingat kawannya
Sri yang mati
karena rusak paru-parunya

Suti meludah
dan lagi-lagi darah

Suti memejamkan mata
suara mesin kembali menggemuruh
bayangan kawannya bermunculan
Suti menggelengkan kepala
tahu mereka dibayar murah

Suti meludah
dan lagi-lagi darah

Suti merenungi resep dokter
tak ada uang
tak ada obat
Sumber: Aku Ingin Jadi Peluru, hal. 48 - 49.

Sekian pembahasan mengenai Menulis Teks Naratif Berbentuk Puisi untuk Kebutuhan Majalah Dinding semoga bermanfaat.