Pendekatan Pluralisme Budaya dalam Menangani Konflik di Indonesia - Indonesia merupakan suatu gugusan kepulauan yang terdiri atas berbagai ragam kebudayaan. Adapun masyarakatnya merupakan masyarakat yang multikultural. Banyak konflik terjadi di Indonesia seperti kasus Sampit di Kalimantan, konflik di Poso dan Ambon, konflik antarsuku di Papua, dan konflik-konflik lain. Konflik tersebut lebih banyak diakibatkan oleh kemajemukan dalam masyarakat, baik secara vertikal maupun horizontal.
Karakteristik yang menonjol dari konflik internal adalah tingkat ketahanannya karena konflik seperti ini sering didasarkan pada isu identitas. Istilah yang sering digunakan dalam konflik seperti ini adalah konflik etnis. Konflik disebabkan oleh faktor apapun (agama, ras, budaya, keturunan, sejarah) yang dianggap sebagai identitas fundamental dan yang menyatukan mereka menjadi sebuah kelompok maka merasa berkewajiban untuk melakukan kekerasan demi melindungi identitas mereka yang terancam.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan identitas fundamental sering bercampur dengan konflik dalam pendistribusian sumberdaya. Misalnya wilayah, kekuasaan ekonomi, prospek lapangan kerja, dan sebagainya. Ketika identitas dan isu pendistribusian dibaurkan, akan menjadi kesempatan bagi pemimpin yang oportunistik untuk mengeksploitasi dan memanipulasi. Hal ini menjadi potensi konflik yang paling tinggi dan banyak terjadi di Indonesia, terutama setelah masa reformasi sampai sekarang.
Pendekatan pluralisme budaya merupakan sebuah alternatif dalam kaitannya dengan relasi sosial di antara kelompok-kelompok etnis dan kebudayaan. Pendekatan ini dapat dijadikan sebagai strategi pemecahan konflik dan pembangunan modal kedamaian sosial. Pluralisme menunjuk pada sikap penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan. Daripada berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman, seperti kata Kleden (2000:5), “...penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat, dan terhadap potensi manusia.”
Data dibawah ini menunjukkan model sederhana mengenai pendekatan pluralisme budaya dalam memahami dan memecah kan konflik antaretnis. Fokus intervensinya mencakup tiga wilayah: mikro, messo dan makro yang melibatkan berbagai isu personal, interpersonal, dan sosiokultural.
Pendekatan Pluralisme Budaya dalam Memahami dan Memecahkan Konflik
Pendekatan Pluralisme Budaya dalam Menangani Konflik di Indonesia
Secara sosiologis, masyarakat multikultural memiliki potensi rawan konflik yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:- harga diri dan kebanggaan setiap pihak terusik;
- adanya perbedaan kebudayaan yang dimiliki setiap etnis;
- adanya benturan kepentingan (politik, ekonomi, kekuasaan);
- perubahan sosial yang terlalu cepat dapat mengganggu keseimbangan sistem.
Suku Asmat yang ada di Papua merupakan golongan suku yang teguh berpegang pada adat dan kebudayaan.
- Identitas, yang berkaitan dengan mobilisasi orang dalam kelompok-kelompok identitas komunal yang berdasarkan ras, agama, bahasa, dan seterusnya;
- Distribusi, yaitu cara untuk membagi sumber daya ekonomi, sosial, dan politik dalam sebuah masyarakat. Ketika distribusi dianggap tidak adil yang berkaitan dengan perbedaan identitas.
Karakteristik yang menonjol dari konflik internal adalah tingkat ketahanannya karena konflik seperti ini sering didasarkan pada isu identitas. Istilah yang sering digunakan dalam konflik seperti ini adalah konflik etnis. Konflik disebabkan oleh faktor apapun (agama, ras, budaya, keturunan, sejarah) yang dianggap sebagai identitas fundamental dan yang menyatukan mereka menjadi sebuah kelompok maka merasa berkewajiban untuk melakukan kekerasan demi melindungi identitas mereka yang terancam.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan identitas fundamental sering bercampur dengan konflik dalam pendistribusian sumberdaya. Misalnya wilayah, kekuasaan ekonomi, prospek lapangan kerja, dan sebagainya. Ketika identitas dan isu pendistribusian dibaurkan, akan menjadi kesempatan bagi pemimpin yang oportunistik untuk mengeksploitasi dan memanipulasi. Hal ini menjadi potensi konflik yang paling tinggi dan banyak terjadi di Indonesia, terutama setelah masa reformasi sampai sekarang.
Pendekatan pluralisme budaya merupakan sebuah alternatif dalam kaitannya dengan relasi sosial di antara kelompok-kelompok etnis dan kebudayaan. Pendekatan ini dapat dijadikan sebagai strategi pemecahan konflik dan pembangunan modal kedamaian sosial. Pluralisme menunjuk pada sikap penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan. Daripada berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman, seperti kata Kleden (2000:5), “...penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat, dan terhadap potensi manusia.”
Data dibawah ini menunjukkan model sederhana mengenai pendekatan pluralisme budaya dalam memahami dan memecah kan konflik antaretnis. Fokus intervensinya mencakup tiga wilayah: mikro, messo dan makro yang melibatkan berbagai isu personal, interpersonal, dan sosiokultural.
Pendekatan Pluralisme Budaya dalam Memahami dan Memecahkan Konflik
Pusat Perhatian Mikro: individu
- Identifikasi orientasi budaya klien. Misalnya: bahasa, agama, daerah asal.
- Evaluasi pentingnya variasi-variasi kelompok antaretnis yang mempengaruhi orientasi budaya klien.
- Pertimbangkan keanggotaan dan status sosial klien sebagai faktor antara (mediating factor).
- Pilih solusi pemecahan masalah personal yang cocok secara etnis.
- Mengembangkan kompetensi personal, sosial, dan vokasional.
- Meningkatkan pengetahuan mengenai sumber-sumber.
- Menetapkan jaringan pendukung sosial yang baru.
- Pelatihan normatif.
- Pendidikan.
- Sosialisasi.
- Penyembuhan.
- Konseling.
Pusat Perhatian Messo: keluarga, lembaga-lembaga sosial, kelompok penyembuhan
- Identifikasi karakteristik keluarga, lembaga-lembaga sosial, dan kelompok penyembuhan berdasarkan dinamika etnis.
- Perkiraan kepekaan atau responsifitas kelompok yang anggota-anggotanya mungkin memiliki orientasi etnis yang berbeda.
- Evaluasi pentingnya variasi-variasi kelompok antaretnis dalam keluarga, lembaga-lembaga sosial, dan kelompok penyembuhan.
- Pertimbangkan keanggotaan dan status sosial kelompok sebagai faktor antara.
- Mendukung pemahaman dan menerima perbedaan-perbedaan antaretnis.
- Meningkatkan integritas sosial kelompok.
- Meningkatkan kesadaran dan identitas etnis.
- Mengatasi subordinasi.
- Membangun basis-basis kekuasaan baru.
- Reedukasi dan penjelasan nilai-nilai.
- Mengembangkan kesadaran dan sensitifitas budaya.
- Merancang proyek-proyek kerja sama antaretnis.
- Pemberdayaan dan pelatihan kemandirian, kepemimpinan.
- Pengorganisasian proses-proses politik.
Pusat Perhatian Makro: masyarakat lokal dan nasional
- Memahami batas-batas keluarga dengan komunitas yang lebih luas dalam perencanaan dan pelaksanaan intervensi (pemecahan masalah).
- Fasilitas kepekaan masyarakat terhadap kebutuhan-kebutuhan kebudayaan etnis.
- Menyadari kebijakan-kebijakan lokal dan nasional yang mempengaruhi integrasi kelompok-kelompok etnis.
- Meningkatkan kesamaan kesempatan.
- Memfasilitasi perubahan-perubahan kebijakan.
- Memperbaiki prosedur dan mendistribusikan pelayanan publik.
- Advokasi dan bantuan hukum.
- Perbaikan dan peningkatan saluran-saluran politik.
- Mengembangkan proyek-proyek percontohan dan penelitian tindakan (action research).